Temans,
Setelah nonton BCiA semalam, komentar saya secara umum thdp film ini dari skala 1 (jelek) sampai skala 10 (bagus banget), buat saya film ini ada di angka 7.5 lah.. :)
Sebagai sutradara, Jiwo memang belum sekelas Mira Lesmana atau Riri Riza atau Hanung Brahmantyo yang memang memiliki pendidikan di bidang sinematografi dan sudah malang melintang di dunia film dengan sederet karyanya. Tetapi sebagai seorang 'pemula' di bidang penyutradaraan (dari ITB pulak) saya rasa Jiwo berhak dapat acungan jempol atas orisinalitas konsep penyutradaan di film ini.
Ditunjang dengan kualitas pengambilan gambar dan musik yang keren, jalinan cerita terasa berjalan cukup menghibur, sekaligus mendidik.
Terlepas dari berbagai 'keanehan' detil yang agak mengganggu (bagi yang tahu) seperti 'kostum' seragam di acara iota tau beta, atau porsi kampus ITB yang terlalu sedikit visualisasinya, 'icon2' kota Bandung yang kurang tertangkap kamera, makan2 perayaan lulus yang 'biasa' banget buat acara 'istimewa' dan teman 'istimewa' (padahal banyak cafe bagus seputar Bandung saat itu lho seperti Dago Tea House atau Tizi atau PT Rasa lah), tetapi fotografi di film ini boleh diacungi jempol..
Para pemain cukup bisa membawakan peran masing-masing dengan baik. Jalan cerita terasa cukup mengalir dan terbangun baik... Lucu rasanya melihat tokoh Fuad yang kocak dan Gungun yang 'sunda pisan', serta rasanya Aryo Wahab berhasil memerankan tokoh Slamet yg berotak encer tapi sangat 'menggemaskan' karena begitu peragu dalam mengungkapkan perasaannya kepada Ria :).. Tokoh pendukung lain juga bermain baik.
Tokoh ibu yang diperankan Niniek L. Karim benar2 'menyentuh' kalbu. Adegan ibu memberi restu dengan cara melangkahi kepala Slamet sebanyak 3 kali membuat film ini memiliki 'jiwa dan ruh' budi serta bakti yang memberikan simbolisasi bagaimana seorang anak berbakti dengan merelakan seluruh ego, jiwa dan raganya dengan 'ndelosor' serendah tanah bagi sang ibu tercinta. Sebuah tradisi masyarakat lokal di tempat Jiwo dibesarkan barangkali, tetapi masih relevan untuk ditampilkan sebagai contoh bagi anak-anak muda masa kini bagaimana bersikap kepada orangtua. Dialog dosen kepada mahasiswa yang terlambat juga barangkali dimaksudkan untuk 'pendidikan' di bidang itu, walaupun terkesan 'tidak pada tempat'nya menegur seseorang di depan umum seperti itu, tapi, yah, bagi seorang dosen 'mempermalukan' mahasiswa yang terlambat barangkali sudah jadi hal yang 'biasa' saja..
Secara keseluruhan, saya menangkap film ini seolah menjadi media komunikasi bagi Jiwo dalam menyampaikan pesan tentang cinta dalam bahasa simbol-simbol. Saya melihat Jiwo ingin bertutur tentang keindahan CinTa (alam semesta) melalui simbolisasi adegan, tutur kata, pemikiran, tarian, mimik wajah, dan hubungan-hubungan antar manusia di film ini. Simbol2 ini bukan melulu terungkap secara fisik dan logika, tetapi juga simbol non-fisik dan di luar logika. Dan pesan ini menjadi lebih kuat dengan dipakainya cara bertutur seorang dalang layaknya dalam sebuah lakon pertunjukan wayang semalam suntuk.
Dimulai dengan menampilkan siluet bayangan 'wajah kota' dan 'aktifitas' urban dengan gaya wayang kulit yang digerakkan dari balik 'geber' dengan lampu 'cublik'nya ditingkah suluk narasi ki dalang Jiwo dalam mengawali 'lakon' cerita yang akan tersaji pada seluruh jalinan film ini, memberikan pesan kuat seolah cerita yang akan dituturkan adalah kendaraan bagi penonton untuk mengerti pesan Cinta ini, terlepas dari apa isi cerita di dalamnya.
Beberapa jeda antar sub-bab cerita diantarai dengan 'sabetan' gunungan. Secara simbolis gunung adalah cermin perjalanan spiritual manusia di muka bumi. Pesta dan tarian penutup sebagai ajang 'perayaan' diujung cerita film ini seolah mencerminkan cara Jiwo dalam menyikapi hidup dan menjaganya tetap selaras dengan alam semesta. Tari-tarian dan seluruh kebahagiaan yang terungkap di akhir cerita seolah sebuah simbol tarian kosmis yang sejak lama menjadi bagian dari banyak tradisi masyarakat Timur untuk 'merayakan' hidup dan kehidupan itu sendiri. Sudah sering kita mendengar tentang tarian sufi dan di kalangan para yogi tarian perayaan keselarasan dengan cinta kosmis ini dituangkan dalam 'Shiva Dance'. Sebuah tarian sakral yang menyelaraskan getaran tubuh dengan getaran bumi dan alam. Selarasnya mikrokosmis dengan makrokosmis.
Sehingga menjadi jelas, cerita di dalam film ini menjadi tak penting lagi, karena sebenarnya film ini sendirilah pesan pentingnya. Jiwo ingin bertutur tentang Cinta Semesta melalui film ini. Sehingga tak penting lagi mencari alasan logis ala seorang insinyur lulusan ITB yang penuh perhitungan rumus dan analisa, dibalik keputusan Ria memilih pria cacat mantan teknisi AC dibanding menerima rasa yg dipendam Benny atau Slamet atau Poltak.
Karena cinta semesta memang tak butuh alasan untuk memberi kehidupan. Cinta hanya memberi. Seandainya kata CINTA dalam judul film diganti 'ArRahman ArRahim', maka pesan Jiwo dalam film ini menjadi terungkap jelas.
'Bahwa ArRahman ArRahim itu Ada'..
Bahwa Sang Maha Kasih dan Sang Maha Sayang itu Ada..
Bahwa Dia berada di luar jangkauan logika..
"Love needs no reasons, because it comes from THE LOVE itself.."
Selamat bagi Jiwo, rekan saya sesama alumni di unit PSTK dulu ;)..
Dan selamat bagi seluruh tim penggagas, tim produksi, dan penyandang dana yang berani mendukung gagasan idealis dan mewujudkannya dalam hasil karya para alumni ITB yang membanggakan ini.
"This is not an ordinary movie, this is a philosophical-traditional-based movie about universal love.."
Sukses selalu GCI..
Salam
Prasti - AR82
- Hits: 32283
Gala Premiere "Bahwa Cinta Itu Ada"
Page 2 of 5