Selasa malam 3 Maret 2010, atas kebaikan hati Bayu Utomo (AR81), saya berkesempatan memperoleh undangan untuk menyaksikan gala premiere film Bahwa Cinta itu Ada – Gading-Gading Ganesha, di studio XXI PIM 2. Sesuai info yang saya terima, bahwa film akan mulai diputar pukul 20.00, maka pada jam 19.50 saya sudah menginjakkan kaki di depan pintu studio XXI. Saya tadinya berfikir, bahwa saya datang terlambat, dan akan langsung masuk ke studio bioskop. Namun di dalam sana ternyata terlihat cukup banyak rekan-rekan alumni ITB lain yang masih nampak bercengkerama di hall XXI. Setelah masuk dan bertanya kekiri-kanan, akhirnya saya baru sadar bahwa film baru akan mulai diputar jam 21.10. Alamakkk….., padahal sepanjang perjalanan dari kantor menuju PIM 2 tadi, saya sudah berusaha mengendarai mobil bak perally, supaya tidak terlambat datang.
Malam itu studio 1, 2 dan 3 sengaja ditutup untuk umum, dan hanya diperuntukkan bagi para undangan. Demikian juga dengan refreshment bar yang berada di sisi kanan ruangan, semua hidangan makanan dan minuman tersaji dengan gratis. Sambil menunggu dimulainya acara, saya sempat bercengkerama dengan rekan-rekan alumni lain, yang berbaur dengan para pemain film, crew, sponsor dan para undangan lainnya. Saya sempat bertemu dan melihat cukup banyak celebrity alumni yang hadir seperti : Betti Alisjahbana, Boyke Minarno, Hiramsyah T, Rinaldi Firmansyah, Yani Panigoro dan beberapa nama lain. Menjelang film akan diputar, Jero Wacik, yang nampaknya tidak mau dipusingkan dengan Century Gate juga nampak hadir.
Tepat pukul 21.10 pintu studio 1 dibuka, dan kami masuk ke dalam ruangan studio. Karena ini adalah gala premier, maka tentu saja tidak seperti kalau kita sedang menonton film biasa, lampu tidak langsung redup dan film tidak langsung diputar. Tetapi terlebih dahulu diawali dengan sedikit ceremonial dan sambutan berupa perkenalan kepada para pendukung acara (Ganesha Creative Industry) dan para crew film yang terlibat yang disampaikan oleh Suhono (executive producer) dan Sujiwo Tejo (sutradara). Sambutan puncaknya yang sekaligus meresmikan pemutaran film dilakukan oleh Jero Wacik. Tepat di saat-sata akhir pidatonya…, Aburizal Bakrie datang memasukki ruangan studio, dan akhirnya diputarlah film-nya…
Hampir sama dengan isi bukunya, maka film ini menceritakan penggalan jalan hidup 5 orang sahabat yang pernah berkuliah di kampus Ganesha (di film itu tidak pernah disebutkan dengan jelas ITB, tetapi selalu disebut dengan Institut Ganesha), yang diceritakan dalam bentuk flash back. Di awal ceritanya, empat sahabat itu akan melakukan tele conference dari gedung Medco/Apexindo Jl, Ampera Raya, dengan salah seorang sahabat lainnya yang berada di sebuah kuari batubara di Sawah Lunto. Dari sanalah, flashback dimulai dengan menceritakan satu persatu siapa karakter-karakter utamanya.
Sejak awal novel ini saya baca, saya sungguh sangat salut dengan rekan saya Wibi si penulis cerita yang dengan sangat tepat memilih lima karakter yang selalu ada di setiap angkatan di ITB. Karena Wibi ini angkatan 84, maka seingat saya setting di novel itu adalah karakter rekan-rekan angkatan 84 - Ingat….si Ria di film itu yang kemana-mana naik sepeda, saya jadi ingat istri sahabat saya Tito GL84: Ria TA84 - tetapi karena yang membuat film ini adalah angkatan 81, maka setting awal saat mereka mendaftarkan diri di BAP dibuat pada tahun 1981. Well… tidak mengapa, karena kelima karakter ini memang selalu dominan di setiap angkatan
Ada karakter si Jawa Trenggalek yang selalu nerimo dan rada kuper, si Batak yang selalu nampak agresif, si Arab Jawa Surabaya yang sikapnya setengah Jawa dan setengah Batak, si Jakarta yang selalu sok tahu dan flamboyan, si Sunda yang nampak polos, dan si Padang yang selalu penuh perhitungan. Lima karakter ini dimainkan dengan baik oleh para pemain utama-nya, apalagi di dukung pula oleh para pemeran pembantu senior : Ninik L Karim, Slamet Raharjo, Nurul Arifin dll., yang saya rasa tanpa perlu membaca skenario dengan seksama saja mereka sudah pasti bisa memerankan dengan baik, sebagai orang tua dan sebagai dosen.
Membuat novel yang menarik itu susah, tapi mem-filmkan novel yang menarik, jauh lebih susah. Apalagi fim ini diharapkan memiliki target yang lebih luas dibandingkan novelnya, yaitu menjangkau para penonton yang bukan alumni ITB, bahkan mungkin tidak pernah membayangkan kehidupan di ITB itu seperti apa. Ada banyak batasan-batasan dan kendala-kendala yang tentunya akan lebih banyak dihadapi oleh pembuat film-nya. Sehingga sorry to say… kadang-kadang terlihat agak dipaksakan, bahkan sejak dari bagian awalnya, seperti misalnya ketika lima sahabat ini dalam suasana informal sedang ketemuan untuk kangen-kangenan, tiba-tiba mereka mengangkat dan mengepalkan tangan sambil berucap “Salam Ganesha..!!” Rasanya, saya tidak pernah melakukan hal itu, kecuali lagi kampanye pemilihan Ketua IA…
Saya beruntung, sudah membaca novelnya dan sudah pula membaca surat-surat email dari Wibi, Suhono dan Sujiwo Tejo ketika film ini akan dirilis, sehingga saya sudah mengantisipasi sebelum menonton, bahwa akan ada banyak hal yang akan berusaha diceritakan Sujiwo Tejo dengan “cara lain”…. The Sujiwo Tejo way…., dan ternyata benar, karakter film-nya adalah karakter dalang Sujiwo Tejo banget, sehingga banyak hal-hal menarik di novel - ciri khasnya Wibi - yang tidak sempat muncul di film-nya. Apa itu….? Wibi itu style-nya popular yang gampang dicerna, sedangkan Sujiwo Tejo itu style-nya agak simbolis teatrikal, jadi…..? Sudahlah, baca saja novelnya dan tonton saja film-nya…
Membuat setting yang semirip mungkin dengan suasana tahun 80an memang bukan pekerjaan mudah, namun di film ini sudah diupayakan maksimal. Pembatas antrian di TPB dengan tali rafia, kuliah di ruangan Sipil, mobil Corolla DX merah, motor Honda C90, adalah contoh kecil yang tidak dilupakan untuk menggambarkan suasana tahun 80-an. Tetapi ada juga hal kecil yang terlewat, tetapi nampak agak mengganggu, misalnya bentuk spanduk demo yang nampak dibuat dari kain mori baru dan kata-katanya dibuat seadanya sehingga terasa kurang ITB…!, lalu si penyanyi di café yang make-upnya gaya tahun 2000-an, motif polo t-shirt pemainnya dan ada lagi beberapa hal kecil lainnya yang tampaknya agak terlupakan. Ninik L. Karim bermain sangat bagus sebagai ibunya si Slamet, tetapi di film itu sebagai orang Jawa yang dapurnya masih menggunakan kayu, kulit tangan dan kuku-nya kelihatan terlalu bersih…. Hehehe… gue detail banget yak…? Soalnya saat menonton semalam, kebetulan mbak Ninik yang tetap bersih dan cantik, duduk di sebelah gue… Suhono yang bermain sesaat sebagai ayah yang sedang ‘sekarat’ meskipun cuma “Ahh…. Uhh… Ahh.. Uhh…”, tapi pantas diacungi jempol. Kami tertawa lepas…., karena kami tahu, dia adalah Suhono, guru besar ITB yang biasanya selalu serius.
Saya menonton bersama-sama rekan-rekan alumni yang sebagian diantaranya belum membaca novel aslinya, dan pernyataan mereka typical “Kok ceritanya melompat-lompat, maksudnya apa sih…?” Yaa… mungkin menceritakan secara visual fragmentasi sebuah novel memang bukan pekerjaan mudah, tetapi lepas dari itu semua saya sangat menghargai usaha keras seluruh crew, pemain, tim dan pendukung yang terlibat dalam pembuatan film ini. Jadi saran saya kepada rekan-rekan yang belum menonton film ini : bacalah dulu novelnya, lalu tonton filmnya, dan lakukan apresiasi sendiri-sendiri sesuai jaman ketika kita pernah bersama-sama kuliah di kampus Ganesha 10. Kalau ada sedikit yang kurang pas di sana-sini yaa… mohon dimaklumi, karena sebagian tokoh utama yang membuat film adalah tukang insinyur...., bukan lulusan IKJ…. !
VH. Gadjahmada/AR84
Temans,
Setelah nonton BCiA semalam, komentar saya secara umum thdp film ini dari skala 1 (jelek) sampai skala 10 (bagus banget), buat saya film ini ada di angka 7.5 lah.. :)
Sebagai sutradara, Jiwo memang belum sekelas Mira Lesmana atau Riri Riza atau Hanung Brahmantyo yang memang memiliki pendidikan di bidang sinematografi dan sudah malang melintang di dunia film dengan sederet karyanya. Tetapi sebagai seorang 'pemula' di bidang penyutradaraan (dari ITB pulak) saya rasa Jiwo berhak dapat acungan jempol atas orisinalitas konsep penyutradaan di film ini.
Ditunjang dengan kualitas pengambilan gambar dan musik yang keren, jalinan cerita terasa berjalan cukup menghibur, sekaligus mendidik.
Terlepas dari berbagai 'keanehan' detil yang agak mengganggu (bagi yang tahu) seperti 'kostum' seragam di acara iota tau beta, atau porsi kampus ITB yang terlalu sedikit visualisasinya, 'icon2' kota Bandung yang kurang tertangkap kamera, makan2 perayaan lulus yang 'biasa' banget buat acara 'istimewa' dan teman 'istimewa' (padahal banyak cafe bagus seputar Bandung saat itu lho seperti Dago Tea House atau Tizi atau PT Rasa lah), tetapi fotografi di film ini boleh diacungi jempol..
Para pemain cukup bisa membawakan peran masing-masing dengan baik. Jalan cerita terasa cukup mengalir dan terbangun baik... Lucu rasanya melihat tokoh Fuad yang kocak dan Gungun yang 'sunda pisan', serta rasanya Aryo Wahab berhasil memerankan tokoh Slamet yg berotak encer tapi sangat 'menggemaskan' karena begitu peragu dalam mengungkapkan perasaannya kepada Ria :).. Tokoh pendukung lain juga bermain baik.
Tokoh ibu yang diperankan Niniek L. Karim benar2 'menyentuh' kalbu. Adegan ibu memberi restu dengan cara melangkahi kepala Slamet sebanyak 3 kali membuat film ini memiliki 'jiwa dan ruh' budi serta bakti yang memberikan simbolisasi bagaimana seorang anak berbakti dengan merelakan seluruh ego, jiwa dan raganya dengan 'ndelosor' serendah tanah bagi sang ibu tercinta. Sebuah tradisi masyarakat lokal di tempat Jiwo dibesarkan barangkali, tetapi masih relevan untuk ditampilkan sebagai contoh bagi anak-anak muda masa kini bagaimana bersikap kepada orangtua. Dialog dosen kepada mahasiswa yang terlambat juga barangkali dimaksudkan untuk 'pendidikan' di bidang itu, walaupun terkesan 'tidak pada tempat'nya menegur seseorang di depan umum seperti itu, tapi, yah, bagi seorang dosen 'mempermalukan' mahasiswa yang terlambat barangkali sudah jadi hal yang 'biasa' saja..
Secara keseluruhan, saya menangkap film ini seolah menjadi media komunikasi bagi Jiwo dalam menyampaikan pesan tentang cinta dalam bahasa simbol-simbol. Saya melihat Jiwo ingin bertutur tentang keindahan CinTa (alam semesta) melalui simbolisasi adegan, tutur kata, pemikiran, tarian, mimik wajah, dan hubungan-hubungan antar manusia di film ini. Simbol2 ini bukan melulu terungkap secara fisik dan logika, tetapi juga simbol non-fisik dan di luar logika. Dan pesan ini menjadi lebih kuat dengan dipakainya cara bertutur seorang dalang layaknya dalam sebuah lakon pertunjukan wayang semalam suntuk.
Dimulai dengan menampilkan siluet bayangan 'wajah kota' dan 'aktifitas' urban dengan gaya wayang kulit yang digerakkan dari balik 'geber' dengan lampu 'cublik'nya ditingkah suluk narasi ki dalang Jiwo dalam mengawali 'lakon' cerita yang akan tersaji pada seluruh jalinan film ini, memberikan pesan kuat seolah cerita yang akan dituturkan adalah kendaraan bagi penonton untuk mengerti pesan Cinta ini, terlepas dari apa isi cerita di dalamnya.
Beberapa jeda antar sub-bab cerita diantarai dengan 'sabetan' gunungan. Secara simbolis gunung adalah cermin perjalanan spiritual manusia di muka bumi. Pesta dan tarian penutup sebagai ajang 'perayaan' diujung cerita film ini seolah mencerminkan cara Jiwo dalam menyikapi hidup dan menjaganya tetap selaras dengan alam semesta. Tari-tarian dan seluruh kebahagiaan yang terungkap di akhir cerita seolah sebuah simbol tarian kosmis yang sejak lama menjadi bagian dari banyak tradisi masyarakat Timur untuk 'merayakan' hidup dan kehidupan itu sendiri. Sudah sering kita mendengar tentang tarian sufi dan di kalangan para yogi tarian perayaan keselarasan dengan cinta kosmis ini dituangkan dalam 'Shiva Dance'. Sebuah tarian sakral yang menyelaraskan getaran tubuh dengan getaran bumi dan alam. Selarasnya mikrokosmis dengan makrokosmis.
Sehingga menjadi jelas, cerita di dalam film ini menjadi tak penting lagi, karena sebenarnya film ini sendirilah pesan pentingnya. Jiwo ingin bertutur tentang Cinta Semesta melalui film ini. Sehingga tak penting lagi mencari alasan logis ala seorang insinyur lulusan ITB yang penuh perhitungan rumus dan analisa, dibalik keputusan Ria memilih pria cacat mantan teknisi AC dibanding menerima rasa yg dipendam Benny atau Slamet atau Poltak.
Karena cinta semesta memang tak butuh alasan untuk memberi kehidupan. Cinta hanya memberi. Seandainya kata CINTA dalam judul film diganti 'ArRahman ArRahim', maka pesan Jiwo dalam film ini menjadi terungkap jelas.
'Bahwa ArRahman ArRahim itu Ada'..
Bahwa Sang Maha Kasih dan Sang Maha Sayang itu Ada..
Bahwa Dia berada di luar jangkauan logika..
"Love needs no reasons, because it comes from THE LOVE itself.."
Selamat bagi Jiwo, rekan saya sesama alumni di unit PSTK dulu ;)..
Dan selamat bagi seluruh tim penggagas, tim produksi, dan penyandang dana yang berani mendukung gagasan idealis dan mewujudkannya dalam hasil karya para alumni ITB yang membanggakan ini.
"This is not an ordinary movie, this is a philosophical-traditional-based movie about universal love.."
Sukses selalu GCI..
Salam
Prasti - AR82
Dear mas Ut, berikut comments nya buat film 3G:
1. Gw suka prelude nya 3G (waktu awal film dg background wayang kulit), musiknya... unique tradition dibungkus modern, oke banget, bangga lah anak itebe bikin inovasi prelude model begini...
2. Aktor pemerannya juga oke2!!, cukup mewakili penampilan ceweq itebe & temen2 cowoqnya.. :). Ceweqnya agak2 tomboy, baju mhswi itebe nya bener kaos n jeans (gak ada seksi2nya klo kata temen2 cowok gw), pede malah agak2 somse sedikit ;) tapi selalu disayang temen2 cowoqnya... he he he... dapet lah figurnya. Padahal pas ketemu di luar studio kemarin pada beda bangett penampilannya.. hebat deh. Semua bagus kok, termasuk pemeran pembantunya Niniek L Karim luar biasa, prof Suhono juga baguss... lucuuu.... sekali2nya main film jadi orang sekarat... he he.. salam ya buat prof Suhono, berbakat lho!
3. Yang agak mengganggu sepanjang film, ternyata settingnya... berhubung kita yang nonton anak itebe kali ya, rasanya menurut gw banyak yang kurang pas, such as:
- masak nonton Iota kaosnya seragam? nontonnya rapih banget? gak ada kericuhan? kurang bar2 lah..
- sejak kapan ada salam Iota Tau Beta? aneeeh.. hi hi hi...
- kampus Itebe nya gak dapet 'soul'nya deh.... angle yang diambil bukan yang bisa bikin kita bilang 'yak itu itebe banget!'
- adegan pas di cafe sehabis wisuda juga gak jelas maksudnya... maupun settingnya..
4. Mata penonton kurang dimanjain dengan angle dan setting visual yang bagus... Ada siih beberapa yg bagus.. spt di rumah Slamet di desa, trus waktu Ria sepedaan sama Bagas, gedung Tua di sawah lunto, bukit penambangannya... tapi kurang banyaaaaaakkk..., terutama tempat yang berkali-kali diambil, such as:
- kantornya Ria gak jelas settingannya... (lulusan itebe gitu loh.. yang bagusan dooong kantornya... :))
- kantor di bukit penambangannya....
- jalanan di Bandung, such as Imam Bonjol... kurang artistik pengambilannya... mungkin kurang pencahayaan kali ya?
5. Pas pulang sempat ngobrol dan makan malam dengan yang udah baca novelnya... katanya waah lebih bagus novelnyaaa... :( Banyak adegan2 lucu dan itebe banget di novelnya yang tidak diambil... :(
6. Gituu.. panjang yak mas? komentarnya udah ketauan... klo dikerjain kayak gitu kan duitnya butuh lebih banyaak yaa?? Hehehe... namanya juga komentar penonton kan. Tapi teteup... saluut deehn bisa menghasilkan karya spt ini... selamet ya buat ITB81!
Cheers,
DS Pangestuti (AR84)
Sumber : http://www.21cineplex.com
Satu lagi film nasional yang akan meramaikan khasanah perfilman di tanah air. Kali ini lewat film arahan Sujiwo Tejo yang berjudul Bahwa Cinta itu Ada (Gading-Gading Ganesha). Menceritakan kisah enam mahasiswa ITB yang berbeda status sosial dan latar belakang. Film ini diadaptasi dari novel karya Dermawan Wibisono dengan judul yang sama.
Film yang diprakarsai oleh Ikatan Alumni Mahasiswa ITB ini mendapat sambutan yang positif serta pujian yang mengalir tiada henti dari para wartawan saat press screening dan konfrensi pers di Planet Hollywood Jakarta (1/3). Para pemain yang hadir seperti Ario Wahab, Eva Asmarani, Rizky Hanggono, Alex Abbad, Dennis Adishwara,dan Restu Sinaga pun tampak tersenyum gembira melihat reaksi dan tanggapan para wartawan yang satu persatu memuji film mereka.
Tidak ketinggalan aktor sekaligus sutradara terbaik yang dimiliki oleh Indonesia Slamet Rahardjo juga datang di acara ini dan memberikan pernyataannya. “Satu yang perlu dicatat di film ini adalah, film ini sangat menarik, karena tidak banyak orang yang membuat film dari sebuah gagasan, mudah-mudahan film ini bisa menjadi cara bertutur film di tanah air,” ujar Slamet Rahardjo saat mengungkapkan penilaiannya terhadap film Bahwa Cinta Itu Ada.
Awalnya durasi film ini mencapai tiga jam, namun dipotong dan hanya menyisakan 90 menit saja. Mengenai pemotongan ini, sang sutradara mengungkap kan bahwa hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan yang matang. “Sebenarnya durasi film yang tiga jam itu sangat luar biasa dan memiliki gambar-gambar yang bagus, tapi cuma 90 menit yang bisa kami kasih dengan cinta,” ujar Sujiwo Tejo.
Jadi jika Anda ingin melihat penggambaran cinta dari sang dalang Sujiwo Tejo, film ini bisa jadi alternatif menarik yang bisa disaksikan mulai 4 maret 2010. (deri)
{qtube vid:=CkyFxjrn7yA}