Source : Majalah Tempo Interaktif
Merlyna Lim [AR89] |
silahkan click untuk memperbesar |
03 Januari 2011
DEPRESI malah berbuah dua gelar doktor. Ketika posisinya sebagai direktur riset di Center for Advanced Research of Biomedical Engineering, Toin University, Jepang, dicopot pada 1998, Ken Kawan Soetanto sempat tersuruk dalam depresi.
"Berpikir keras sedikit saja langsung muntah-muntah," kata Ken Soetanto, 59 tahun, dua pekan lalu. Padahal Kenlah yang merintis dan membesarkan lembaga riset itu. Pulang kampung ke Surabaya, kota kelahirannya, membuat Ken hidup kembali. Ketika dia merasa terbuang, warga kota itu justru menyambutnya bak pahlawan.
Dia laris diundang ke pelbagai seminar sebagai sumber inspirasi. Setiap kali dia menjadi pembicara, kursi peserta tak pernah ada yang melompong. Sambutan warga Surabaya itu melecut kembali semangat hidup Ken. "Saya terpacu untuk membuktikan diri," kata Ken. Pada saat memulihkan diri dari depresi itulah, Ken malah kembali memburu gelar doktor.
Dua gelar doktor, yakni doktor farmasi dari Science University of Tokyo pada 2000 dan doktor pendidikan dari Waseda University tiga tahun kemudian, menambah panjang deretan gelar di depan namanya. Padahal sebelumnya Ken sudah menyandang dua gelar doktor dari dua kampus elite di Jepang, yakni doktor aplikasi rekayasa elektronika dari Tokyo Institute of Technology pada 1985 dan doktor ilmu kedokteran dari Tohoku University.
Sempat menjadi pengangguran selama beberapa tahun, Ken diangkat menjadi guru besar di Waseda University pada 2003. Bahkan dia menjadi dekan divisi hubungan internasional di almamaternya itu. Metode pendidikannya, Soetanto Effect, diadopsi oleh kampus-kampus di Jepang.
Semua itu didapat Ken dengan berdarah-darah. Kendati sudah mengantongi dua gelar doktor pada akhir 1980-an, tak berarti karpet merah sudah terbentang di depan mata. Ken sempat ditolak menjadi dosen di Jepang. "Padahal gelar doktor saya dari Tokyo Institute of Technology, MIT (kampus teknik terbaik di dunia)-nya Jepang. Semua itu hanya karena saya orang Asia," ujar Ken. Bukan dosen elektronika atau kedokteran sesuai dengan gelar doktornya yang disodorkan, Ken malah diminta mengajar bahasa Indonesia. Terang saja tawaran itu dia tolak.
Sempat putus asa tak kunjung mendapat kerja di Jepang, Ken mencari kerja ke Amerika Serikat. Selama lima tahun, Ken menjadi profesor di Drexel University dan Thomas Jefferson Medical School. Baru pada 1993, Ken kembali ke Jepang karena mendapat tawaran menjadi dosen di Toin University.
Memegang paspor hijau di tangan memang acap perlu usaha ekstra untuk menembus pekerjaan di perguruan tinggi atau lembaga riset di luar negeri. "Butuh usaha panjang untuk membuktikan bahwa orang Indonesia juga mampu dan pandai," kata Andreas Raharso, Kepala Riset Global Hay Group, perusahaan konsultan manajemen yang berkantor pusat di Philadelphia, Amerika Serikat.
l l l
Dalam peta ilmu pengetahuan dunia, Indonesia barangkali hanya noktah kecil yang tak masuk hitungan. Kampus top di negeri ini, seperti Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, atau Universitas Gadjah Mada, tak satu pun masuk daftar 200 kampus terbaik dunia versi Times Higher Education ataupun pemeringkatan Shanghai Jiao Tong University.
Peringkat kampus terbaik di Indonesia masih kalah dibanding perguruan tinggi negeri jiran seperti Chulalongkorn University, Thailand, atau Malaya University, Malaysia. Apalagi jika disandingkan dengan dua kampus terbaik di Singapura, National University of Singapore dan Nanyang Technological University. Kedua kampus ini selalu berada di peringkat atas perguruan tinggi terbaik di dunia.
Bukan berarti negeri ini benar-benar paria dan begitu miskin bakat hebat seperti Ken Soetanto ataupun Andreas Raharso. Selain yang bekerja di dalam negeri, jumlah ilmuwan Indonesia yang berserak di luar negeri tak sedikit. Saat ini ada sekitar 2.000 ilmuwan asal negeri ini yang bekerja di kampus atau lembaga riset di pelbagai negara. Mereka bagaikan berlian yang berserak. Dari Arab Saudi hingga Rusia. Di Amerika Serikat saja ada 321 ilmuwan dari negeri ini. Sebagian dari mereka yang terhimpun dalam Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional berkumpul di Jakarta selama tiga hari, pertengahan bulan lalu.
Mereka tak bekerja di lembaga riset atau kampus ecek-ecek. Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, misalnya, usianya baru 34 tahun ketika diangkat menjadi profesor dan kemudian mengepalai Laboratorium Pengindraan Jarak Jauh di Chiba University, Jepang. Padahal, seperti pengalaman Ken Soetanto, kampus di Negeri Matahari Terbit sangat sulit menerima dosen dari luar negeri. Karyanya berderet, di antaranya sensor circularly polarized synthetic aperture radar. Sensor Tetuko ini mengatasi kelemahan sensor observasi bumi generasi lama, mampu menembus awan, kabut, asap, bahkan kelebatan hutan.
Di bidang fisika ada Andrivo Rusydi, profesor di National University of Singapore; Ihsan Amin, peneliti di TU Dresden, Jerman; Profesor Romulus Godang di University of South Alabama, Amerika; dan Rahmat, fisikawan di University of Mississippi, Amerika. Juga Haryo Sumowidagdo, peneliti muda di Pusat Riset Nuklir Eropa. Sekarang Haryo menjadi anggota tim Compact Muon Solenoid. "Tugas kami mempelajari sifat-sifat partikel elementer hasil tumbukan energi tinggi di Large Hadron Collider," katanya. Dengan mempelajari bagaimana mereka terbentuk dan bereaksi, para ilmuwan dapat mempelajari bagaimana asal mula alam semesta.
Beberapa prestasi ilmuwan Indonesia dalam bidang kedokteran pun lumayan moncer. Taruna Ikrar, peneliti di Sekolah Kedokteran University of California, Irvine, berhasil mematenkan metode pemantauan aktivitas otak. "Saya di sini tak perlu rendah diri dibanding ilmuwan asli AS sekalipun," kata doktor dari Niigata University, Jepang, itu.
Bagi para ilmuwan asal Indonesia, lingkungan kampus ataupun lembaga riset di Amerika Serikat boleh jadi serupa dengan surga. Meski berasal dari Indonesia, Yow Pin Lim, peneliti di Sekolah Kedokteran Brown University kelahiran Cirebon, tak sekali pun pernah merasakan diskriminasi. Proposal penelitiannya mengenai protein inter-alpha inhibitor yang berpotensi menangani sepsis dan kanker sudah hampir tujuh tahun dibiayai lembaga riset kesehatan milik pemerintah Amerika (NIH). Dengan dana itulah Yow Pin Lim mendirikan perusahaan riset medis Pro Thera Biologics. "Kalaupun saya sekarang pulang ke Indonesia, mereka tidak akan menuntut uang itu kembali," ujar Yow.
l l l
Tak semata fulus-paling tidak demikianlah pengakuan mereka-yang membuat jenius Indonesia beterbangan ke negeri orang. "Saya tidak hanya mencari uang," Priyambudi Sulistyanto, Koordinator Program Asian Governance di Flinders University, Australia, menjawab lugas. Pendapatan dosen atau peneliti di luar negeri memang lumayan menggiurkan. Taruna Ikrar mengaku mendapat gaji sekitar US$ 6.000 atau Rp 54 juta per bulan, plus fasilitas perumahan.
Kesempatan untuk riset menjadi salah satu daya tarik. Di Indonesia kesempatan riset ini menjadi persoalan klise di perguruan tinggi. Dana riset yang begitu cekak menjadi halangan yang tak kunjung terselesaikan. Dana riset Institut Teknologi Bandung pada 2009, misalnya, hanya Rp 65,5 miliar. Hanya seujung kuku dibanding anggaran riset Johns Hopkins University pada 2007 yang menembus US$ 1,5 miliar atau sekitar Rp 13,5 triliun.
Belum lagi soal beban kewajiban mengajar. "Saya hanya mengajar sekali dalam satu semester," kata Andrea Peresthu, dosen di Departemen Urbanisme TU Delft, Belanda. Dia lebih banyak terlibat dalam penelitian masalah perkotaan di Amerika Latin dan Asia. Serupa dengan di Belanda, menurut Merlyna Lim [AR89], profesor di Sekolah Transformasi Sosial Arizona State University, Amerika, semakin produktif penelitian, beban mengajarnya juga semakin sedikit.
"Tapi saya akan tetap mengajar karena saya memang suka mengajar," kata Merlyna. Kebetulan pula, lulusan teknik arsitektur ITB ini dosen favorit mahasiswa di kampusnya. Salah satu mahasiswanya menulis, "Smart as a whip, funny as hell, gorgeous and so helpful."
Sapto Pradityo, Nur Khoiri